Posted by : elfita harefa
Rabu, 11 Mei 2016
pendidikan
Senjakala Humanior
Kabar tak sedap datang dari Jepang. Sebagaimana dilansir
www.timeshighereducation.com bahwa pada September 2015 Pemerintah
Jepang memerintahkan universitas-universitas di sana menutup
fakultas-fakultas ilmu sosial dan humaniora.
Dari 60 universitas nasional, 26 di antaranya telah mengonfirmasi akan
menutup atau menimbang kembali perintah pemerintah itu. Perintah yang
merupakan bagian dari upaya Perdana Menteri Shinzo Abe itu dimaksudkan
untuk mempromosikan lebih banyak pendidikan kejuruan “yang lebih baik”
dalam mengantisipasi “kebutuhan-kebutuhan masyarakat”.
Patut disayangkan, kemajuan Jepang yang sejak akhir abad ke-19 dipupuk
dengan nilai-nilai luhur filosofi, sejarah, dan budayanya perlahan-lahan
kini terkikis ketika-khususnya-humaniora sebagai pengontrol laju
modernitas telah dianggap malafungsi. Tampaknya di tengah arus
kecanggihan, kecepatan, dan keinstanan teknologi, posisi humaniora
perlahan-lahan terpinggirkan oleh kebutuhan ekonomi dan industri pasar
yang mengatasnamakan “kebutuhan masyarakat”. Lalu, apakah kini humaniora
benar-benar tengah menjelang senjakalanya?
Humaniora, humanisme
Gejala senjakala humaniora sebenarnya sudah digelisahkan sejak beberapa
tahun lalu. Bukan hanya di Jepang, gejala itu bersifat global
sebagaimana diramalkan Terry Eagleton dalam tulisannya, The Death of Universities (2010).
Menurut Eagleton, jika disiplin humaniora tersingkir dari universitas,
maka tidak mungkin universitas bisa berdiri tanpanya. Dan, ketika ilmu
sejarah, arkeologi, antropologi, filsafat, linguistik, sastra, dan seni
menjadi tak lebih dari sekadar “artefak pengetahuan” belaka, maka jelas
ini telah mengingkari landasan historis dan filosofis universitas itu
sendiri yang sejak abad ke-18 tak bisa dipisahkan dari peran penting
disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan, humane disciplines.
Ketika Revolusi Industri bergeliat pada abad ke-18, saat itu
lembaga-lembaga universitas di Eropa mengembangkan humaniora modern
sebagai disiplin untuk mengimbangi laju kapitalisme dan modernisme.
Posisi dan fungsinya tidak lain untuk menjaga nilai-nilai dan ide-ide
kemanusiaan demi mewujudkan harmonisasi kehidupan.
Meski merupakan disiplin ilmu tersendiri, baik secara eksplisit maupun
implisit, humaniora memiliki relasi sinergis dengan disiplin ilmu
lainnya. Relasi itu menciptakan gagasan-gagasan humanistis semisal
ekonomi kerakyatan, penegakan hukum yang berkeadilan, pelayanan
kesehatan yang manusiawi, dan kewajiban memberikan pendidikan bagi
seluruh lapisan masyarakat.
Bahkan, sinergi itu tak berarti harus dimulai di bangku universitas,
melainkan sudah dirintis sejak di bangku sekolah. Misalnya, di beberapa
negara Eropa (Jerman, Perancis, Belanda, dan Rusia), Amerika Serikat,
dan Asia (Jepang, Tiongkok, Malaysia, dan Thailand), siswa-siswa
diwajibkan membaca buku-buku sastra. Membaca sastra artinya menangkap
pesan-pesan kemanusiaan yang dapat membentuk karakter moral para siswa.
Dengan begitu, sikap jujur, adil, rasa welas asih, empati, toleran,
serta berkesadaran dalam menjaga keharmonisan hidup manusia dengan alam
bakal terus terpatri dalam jiwanya.
Maka, sinergi antara humaniora dengan disiplin ilmu lainnya diharapkan
dapat menjadi kontrol untuk mengarahkan berbagai aspek kehidupan menjadi
lebih manusiawi. Perjalanan humaniora sendiri seiring sejalan dengan
kehadiran sosok-sosok humanis dalam sejarah peradaban yang menghendaki
kebaikan hidup bagi umat manusia.
Tengok saja beberapa contoh sosok, seperti Gandhi (India), sarjana hukum
yang terpanggil jiwanya untuk membela dan membebaskan rakyat India dari
penindasan kolonialisme Inggris. Dalam bidang kedokteran, nama seperti
Jose Rizal (Filipina), Sun Yat-sen (Tiongkok), dan Che Guevara (Kuba)
mendedikasikan tanpa pamrih ilmu medisnya untuk menyembuhkan jiwa raga
saudara-saudara sebangsanya yang tertindas.
Dalam bidang sosial keagamaan, ada Bunda Theresa yang menjadi sosok
penerang hidup bagi kaum papa di Calcutta, India. Dalam bidang ekonomi,
ada Muhammad Yunus yang berupaya mengembangkan ekonomi mikro dengan
mendirikan Bank Grameen untuk memajukan para usahawan miskin di
Banglades.
Terlepas apakah posisi humaniora memberi pengaruh secara langsung atau
tidak langsung, kiprah hidup sosok-sosok di atas tidak bisa dilepaskan
dari pengalaman pendidikan atau bacaan pengetahuannya terhadap sejarah,
filsafat, sastra, budaya, dan teologi yang menempa jiwa dan pikiran
mereka memahami hakikat manusia hidup di dunia. Humaniora sejatinya
membimbing manusia menjadi reflektif dalam menyelami nilai-nilai
kemanusiaannya.
Realitas di Indonesia
Di Indonesia model “pendidikan yang memanusiakan manusia” pernah ada pada masa Hindia Belanda. Siswa-siswa AMS (Algemene Middelbare School,
setingkat SMU) Hindia Belanda diwajibkan membaca karya-karya sastra
sebanyak belasan hingga 20-an judul selama masa studinya. Tidak heran
jika generasi saat itu dengan segala profesinya begitu teguh dalam
mengemban nilai-nilai kemanusiaan.
Para dokter, seperti Wahidin Sudirohusodo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan
Soetomo menjadi tabib bagi saudara-saudara sebangsanya yang ditindas
oleh rezim kolonial. Ada pula Hatta, ekonom yang rakus membaca buku itu,
yang merumuskan pembentukan koperasi sebagai sokoguru ekonomi bangsa.
Generasi selepas mereka tak kalah hebatnya. Taruh saja Yap Thiam Hien
“sang pendekar keadilan” dari bidang hukum yang memilih berjuang membela
kaum tertindas dan minoritas. Atau YB Mangunwijaya, arsitek cum sastrawan yang mendedikasikan hidupnya mendidik anak-anak melalui metode “pendidikan yang memanusiakan manusia” itu.
Dari mereka kita bisa menangkap makna penting nilai-nilai kemanusiaan
yang perlu dirawat untuk Indonesia masa sekarang. Maka, posisi humaniora
perlu benar-benar diperhatikan urgensinya dengan mengembangkan
orientasi keilmuan di universitas secara lintas disiplin.
Bayangkan, betapa bahagia jika kita punya dokter-dokter yang meresapi
secara tulus filosofi sumpah Hipokrates yang pernah diucapnya. Pun para
ahli hukum belajar meneladani kisah-kisah para penegak keadilan dalam
memihak kaum tertindas. Andai para dokter dan aparat hukum membaca
tetralogi Pramoedya Ananta Toer, lalu meresapinya, barangkali masyarakat
bakal menyanjung mereka sebagai “pahlawan kehidupan”.
Indonesia dan juga dunia sekarang ini memerlukan generasi yang punya sense of humanities.
Generasi inilah yang diharapkan dapat memutus generasi yang krisis rasa
kemanusiaannya seperti: tenaga medis yang hanya pamrih menyembuhkan
orang-orang berduit; hakim yang memenangkan para pengusaha perusak
lingkungan; politisi dan anggota dewan yang korup; serta pejabat negara
yang tidak melindungi hak-hak kaum minoritas dan tertindas.
Itulah sebabnya spirit humaniora harus terus bernyala, jangan dibiarkan menuju senjakala.
sinergi itu tak berarti harus dimulai di bangku universitas, melainkan sudah dirintis sejak di bangku sekolah. Misalnya, di beberapa negara Eropa (Jerman, Perancis, Belanda, dan Rusia), Amerika Serikat, dan Asia (Jepang, Tiongkok, Malaysia, dan Thailand), siswa-siswa diwajibkan membaca buku-buku sastra. Membaca sastra artinya menangkap pesan-pesan kemanusiaan yang dapat membentuk karakter moral para siswa. Dengan begitu, sikap jujur, adil, rasa welas asih, empati, toleran, serta berkesadaran dalam menjaga keharmonisan hidup manusia dengan alam bakal terus terpatri dalam jiwanya.
BalasHapus